BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan satu negara yang kaya akan tradisi dan budayanya. Tradisi itu sendiri terbagi atas dua bagian, yaitu tradisi tulis dan tradisi lisan/bukan tulisan. Tradisi tersebut, merupakan tradisi yang lahir dari beberapa abad tahun yang lalu, maka dari itu, ada sebagian orang yang menyebutnya sebagai kesenian tradisional.
Tradisi lisan pada zamannya, merupakan salah satu tradisi yang lahir sebelum mengetahui tulisan/aksara secara meluas. Sehingga tidak heran apabila tradisi ini memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu budaya.
Pada beberapa tahun ini, tradisi lisan sudah cukup mendapat perhatian. Hal tersebut dapat terlihat dengan dilakukannya penelitian-penelitian, baik itu sebagai pengimpentarisasian atau sebuah analisis. Untuk sekarang ini, kita sudah dengan mudah dapat menyaksikan di beberapa stasiun televisi penyajian acara tentang tradisi/kebudayaan di wilayah iIndonesia, termasuk tradisi lisan. Harapannya, hal itu sebagai salah satu kepedulian terhadap keberadaan tradisi lama agar supaya tidak musnah dan hilang tanpa jejak.
Jawa Barat pun demikian, sebagai salah satu daerah bagian Indonesia, terdapat tradisi lisan yang barang tentu akan berbeda dengan daerah-daerah yang lainnya, dan ini pun sudah banyak menarik peneliti untuk peduli dengan keberadaannya. Salah satu ragam dan bentuk dari tradisi lisan yang berada di Jawa Barat yaitu Puisi.
Puisi sawer panganten merupakan salah satu bentuk tradisi lisan dan masuk pada wilayah folklor. Istilah folklor di Indonesia pertama kali dikemukakkan oleh James Danandjaja, definisinya adalah sebagai berikut:
“Folklor yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)” (Danandjaja, 1997:2). Pendapat Rusyana (1978:1) folklor adalah merupakan bagian dari persendian cerita yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat.
Folklor pada masyarakat Sunda, sama dengan folklor dengan daerah lain, yaitu terbagi menjadi folklor lisan (verbal folklore), folklor setengah lisan (partly folklore) folklor bukan lisan (nonverbal folklore).
Puisi sawer panganten termasuk ke dalam folklor lisan. Menurut pendapat rusyana (1976) foklor lisan atau sastra lisan mempunyai kemungkinan untuk berperanan sebagi kekayaan budaya khususnya kekayaan sastra; sebagai modal apresiasi sastra sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik berdasarkan praktek yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad; sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan lebih mudah digauli sebab ada unsurnya yang sudah dikenal oleh masyarakat.
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian Puisi Sawer Panganten Adat Sunda Di Kecamatan Astanaanyar, Bandung, merumuskan beberapa masalah, diantaranya:
(1) Bagaimanakah struktur teks Puisi Sawer Panganten ?,
(2) Bagaimanakah konteks penuturan Puisi Sawer Panganten ?,
(3) Bagaimana proses penciptaan Sawer Panganten ?,
(4) Bagaimanakah fungsi dari Puisi Sawer Panganten ?.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan lain yang ingin dicapai melalui penelitian ini di antaranya:
(1) Mngetahui struktur teks dari Puisi Sawer Panganten,
(2) Mengetahui proses penciptaan Sawer Panganten,
(3) Mengetahui konteks penuturan Puisi Sawer Panganten,
(4) Mengetahui fungsi dari Puisi Sawer Panganten.
1.4 Metode Penelitian
Langkah-langakah kerja dalam mengungkap unsur-unsur struktur dan nilai-nilai yang terkandung di dalam puisi sawer panganten digunakan metode “deskriptif analitik” dengan teknik pengumpulan data wawancara. Wawancara digunakan maksudnya untuk mencari data teks puisi sawer panganten dan hal-hal apa saja yang berkaitan dengan puisi sawer panganten.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Puisi Sawer Panganten
Puisi sawer panganten adalah salah satu bagian atau rangkaian dalam prosesi pernikahan adat Sunda. Puisi ini digunakan dalam upacara saweran untuk pengantin. Puisi sawer panganten dilakukan oleh seseorang yang ahli dalam menembangkannya atau disebut juga juru sawer.
Teks yang dianalisis merupakan teks puisi sawer yang diperoleh dari sebuah acara pernikahan di Kecamatan Astanaanyar, Bandung. Puisi sawer yang dianalisis, yaitu puisi sawer panganten adat Sunda. Puisi sawer tersebut menggunakan bahasa Sunda. Analisis ini akan mengacu pada struktur, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi.
2.1.1 Analisis Struktur Teks Puisi Sawer Panganten
Analisis struktur teks akan meliputi analisis: formula sintaksis, formula bunyi, formula irama, majas, dan tema. Berikut teks puisi sawer panganten:
Teks asli: Teks terjemahan:
(1) Bismillah ngawitan ngidung Bismillah memulai nyanyian
(2) Nyebat asma Maha Suci Menyebut nama Maha Suci
(3) Maha Welas, Maha Asih Maha Pengasih, Maha penyayang
(4) Cunduk waktu nurhayu Tiba saatnya kebahagiaan
(5) Niti wanci nu mastarub Meniti waktu yang pasti
(6) Hidep nalikeun duriat Kalian mengikat cinta kasih
(7) Ngaitkeun asih birahi Menyatukan kasih sayang
(8) Tumut parentah Pangeran Mengikuti perintah Allah
(9) Gusti nu Maha Kawasa Allah yang Maha Kuasa
(10) Nu munajat siang wengi Tempat meminta siang malam
(11) Sangkan kang putra waluya Agar sang putra mendapat kemuliaan
(12) Siang pinareng wengi Siang dan malam
(13) Prung anaking geura manggung Segeralah anakku laksanakan
(14) Didoakeun beurang peuting Didoakan siang dan malam
(15) Geus tandang cumarita Sudah tiba saatnya
(16) Nenede nu Maha Suci Memohonlah kepada yang Maha Suci
(17) Ginanjar kawilujengan Agar mendapat keselamatan
(18) Amin ya robbal allamin Amin ya robbal allamin
(19) Mugi Gusti nangtayungan Semoga Allah melindungi
2.1.1.1 Formula Sintaksis
Puisi sawer panganten mempunyai 19 larik. Dari keseluruhan larik, penulis hanya akan menganalisis larik 1, 6 dan 19 yang merupakan bagian pembuka, isi, dan penutup dari teks puisi sawer panganten. Pertama-tama penulis akan menganalisis pada tataran formula sintaksis, terutama untuk lebih mengangkat aspek fungsi, kategori dan peran komponen-komponen teks puisi sawer panganten tersebut.
Pada kalimat pertama merupakan bagian pembuka dari teks puisi sawer panganten, kalimatnya dibentuk dengan konstruksi S + P + O yaitu terdapat pada larik pertama /Bismillah ngawitan ngidung/. Pada larik ini terdiri atas tiga kata dan delapan suku kata. Kata Bismillah menempati sebagai fungsi subjek yang berkategori kata benda (nomina) dan mempunyai peran sebagai pelaku. Selanjutnya kata ngawitan menempati sebagai fungsi predikat yang berkategori kata kerja (verbal) dan mempunyai peran sebagai perbuatan. Sedangkan kata ngidung menempati sebagai fungsi objek yang berkategori kata benda (nomina) dan mempunyai peran sebagai penjelas. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut:
Tabel 2.1.1
Analisis Sintaksis | Bismillah | ngawitan | ngidung |
Fungsi | S | P | O |
Kategori | N | V | N |
Peran | Pelaku | Perbuatan | Penjelas |
Pada kalimat keenam merupakan bagian isi dari teks puisi sawer panganten, kalimatnya dibentuk dengan konstruksi S + P + O yaitu terdapat pada larik keenam /Hidep nalikeun duriat/. Pada larik ini terdiri atas tiga kata dan delapan suku kata. Kata Hidep menempati sebagai fungsi subjek yang berkategori kata benda (nomina) dan mempunyai peran sebagai penderita. Selanjutnya kata nalikeun menempati sebagai fungsi predikat yang berkategori kata kerja (verbal) dan mempunyai peran sebagai perbuatan. Sedangkan kata duriat menempati sebagai fungsi objek yang berkategori kata benda (nomina) dan mempunyai peran sebagai penjelas. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut:
Tabel 2.1.2
Analisis Sintaksis | Hidep | nalikeun | duriat |
Fungsi | S | P | O |
Kategori | N | V | N |
Peran | Penderita | Perbuatan | Penjelas |
Pada kalimat kesembilan belas merupakan bagian penutup dari teks puisi sawer panganten, kalimatnya dibentuk dengan konstruksi S + P yaitu terdapat pada larik kesembilan belas /Mugi Gusti nangtayungan/. Pada larik ini terdiri atas tiga kata dan delapan suku kata. Kata Mugi Gusti menempati sebagai fungsi subjek yang berkategori kata benda (nomina) dan mempunyai peran sebagai pelaku. Selanjutnya kata nangtayungan menempati sebagai fungsi predikat yang berkategori kata kerja (verbal) dan mempunyai peran sebagai perbuatan. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut:
Tabel 2.1.3
Analisis Sintaksis | Mugi Gusti | nangtayungan |
Fungsi | S | Ket |
Kategori | N | V |
Peran | Pelaku | Perbuatan |
Secara umum dalam puisi sawer panganten, bagian pembuka (larik ke-1) /Bismillah ngawitan ngidung/ bermakna tentang permohonan ijin. Secara implisit juga mengajarkan tentang ajaran tauhid yaitu ke-Esaan Allah. Kata Bismillah adalah ungkapan yang digunakan penembang sebagai ciri bahwa dia akan memulai suatu kegiatan yang bernilai baik, maksudnya yaitu hendak membuka dan memulai sawer. Hal ini sesuai dengan kebiasaan kita pada umumnya ketika hendak melakukan suatu kegiatan.
Bagian isi (larik ke-6) /Hidep nalikeun duriat/ merupakan salah satu ajaran Islam mengenai perintah untuk melaksanakan ibadah nikah yang ditujukan bagi kedua pengantin, merupakan ajaran yang bersumber dari Al-Quran dan hadist. Sebuah hadist yang membicarakan pernikahan yang merupakan salah satu cara untuk menyempurnakan agama.
Bagian penutup (larik ke-19) /Mugi Gusti nangtayungan/ berisi penguatan sugesti dari larik-larik sebelumnya dan simpulan dari isi yang disajikan. Bagian ini merupakan suatu permohonan/doa penutup yang ditujukan untuk kedua pengantin agar selalu ada dalam lindungan Allah.
2.1.1.2 Formula Bunyi
Pembahasan mengenai bunyi meliputi pembahasan asonansi dan aliterasi berserta efek yang ditimbulkannya pada teks. (Pradopo, 2002:31). Dibawah ini dicantumkan bentuk-bentuk bunyi vokal dan bunyi konsonan yang terdapat pada larik ke 1, 6, dan 19 teks puisi sawer panganten.
Tabel 2.1.4
Larik | Bunyi Vokal | Bunyi Konsonan |
1 | /i/, /a/, /u/ | /b/, /s/, /m/, /l/, /h/, /ng/, /w/, /t/, /n/, /d/ |
6 | /i/, /e/, /a/, /u/ | /h/, /d/, /p/, /n/, /l/, /k/, /r/, /t/ |
19 | /u/, /i/, /a/ | /m/, /g/, /s/, /t/, /n/, /ng/, /y/ |
2.1.1.3 Formula Irama
Irama yang digunakan dalam pembacaan teks/ penembangan puisi sawer panganten bersifat arbitrer (mana suka). Artinya, penutur puisi sawer panganten dapat membacakan teks tersebut dengan irama masing-masing (tidak ditentukan). Namun demikian, teks puisi sawer panganten pada pembacaannya mempunyai irama tertentu yang meliputi: pergantian naik-turun, panjang-pendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Untuk lebih jelasnya, teks yang dianalisis diberi tanda tertentu, yaitu: tanda (−) menandakan nada yang panjang, tanda (∩) menandakan nada pendek, dan tanda (≥) menunjukan nada yang sedang. Untuk dapat membedakan nada panjang (−) dan nada sedang (≥) di ibaratkan dengan pembacaan Al-Quran. Pada pembacaannya, nada panjang (−) dibaca dengan lima harokat (lima ketukan) dan nada sedang (≥) dengan dua harokat (dua ketukan).
Untuk memberikan nada-nada tersebut, dilakukan di setiap suku kata. Jadi gambarannya adalah satu tanda untuk satu suku kata. Intinya untuk melihat suku kata mana yang merupakan suku kata yang panjang, pendek atau suku kata yang disuarakan sedang. Berikut irama pada larik ke 6, 14,19 teks puisi sawer panganten:
Tabel 2.1.5
(1) Bismillah ngawitan ngidung | ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ≥ |
(6) Hidep nalikeun duriat | ∩ ∩ ∩ ≥ ≥ ∩ ∩ ≥ |
(19) Mugi Gusti nangtayungan | ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ≥ ≥ |
Tembang puisi sawer panganten yang dilagukan panjang dapat dicirikan merupakan akhir dari sebuah larik dan yang dilagukan pendek merupakan kata yang membentuk unsur bunyi tertentu.
Penekanan (stressing) pada teks puisi sawer panganten terjadi pada sukukata-suku kata berikut:
(1) Bismillah ngawitan ngidung
(6) Hidep nalikeun duriat
(19) Mugi Gusti nangtayungan
Suku kata-suku kata yang bercetak tebal menandakan adanya penekanan (stressing) pada pelafalannya. Artinya, si penembang puisi sawer panganten ini melafalkan teks puisi sawer panganten dengan nada tertentu yang mengidikasikan adanya penekanan (stressing) pada suku kata-suku kata tertentu.
2.1.1.4 Diksi
Pilihan kata dalam puisi disebut diksi, kemampuan memilih kata merupakan syarat utama bagi penyair dalam menyusun puisi. Proses memilih kata pada puisi lisan, prosesnya berlangsung dengan cepat dan tidak dapat diulang. Kata-kata yang dipilih ada yang bermakna denotasi yaitu arti secara harfiah, konotasi adalah asosiasi pikiran yang dapat menimbulkan nilai rasa.
Bahasa yang digunakan dalam teks puisi sawer panganten ini merupakan teks bahasa Sunda yang bisa diketegorikan sebgai bahasa yang bersifat puitis. Artinya, bahasanya merupakan bahasa yang digunakan dalam karya sastra, khususnya puisi. Karena itu cukup sulit untuk memahaminya hanya dengan sekali mendengarkan. Seperti pada kalimat Hidep nalikeun duriat (Kalian mengikat cinta kasih).
2.1.1.5 Tema
Secara umum, puisi sawer panganten bersifat menasehati/mendoakan. Analisis tema, digunakan teori isotopi yang dikemukakan oleh Greimas. Dalam kajian ini, suatu kata/frasa akan diidentifikasi sebagai sesuatu yang mewakili suatu gagasan. Penjelasan mengenai isotopi-isotopi pada teks puisi sawer panganten ini ada pada table-tabel berikut. Berikut analisisnya:
1. Isotopi Tuhan
Tabel 2.1.6
Kata/frasa yang termasuk isotopi Tuhan | Intensitas | Denotatif (D) Konotatif (K) | Komponen makna bersama |
Firman | Wahyu | Dzat | Sifat |
Bismillah | 1x | D/K | + | + | + | + |
Maha Suci | 2x | D/K | + | + | + | + |
Maha welas | 1x | D/K | + | + | + | + |
Maha Asih | 1x | D/K | + | + | + | + |
Pangeran | 1x | D/K | - | - | + | + |
Gusti | 2x | D/K | - | - | + | + |
Maha kawasa | 1x | D/K | + | + | + | + |
Amin ya robbal allamin | 1x | D/K | + | + | - | + |
2. Isotopi Alam
Tabel 2.1.7
Kata/frasa yang termasuk isotopi Alam | Intensitas | Denotatif (D) Konotatif (K) | Komponen makna bersama |
Bumi | Kehidupan | Angkasa |
Siang | 2x | D/K | + | + | + |
Wengi | 2x | D/K | + | + | + |
Beurang | 1x | D/K | + | + | + |
Peuting | 1x | D/K | + | + | + |
3. Isotopi Manusia
Tabel 2.1.8
Kata/frasa yang termasuk isotopi Manusia | Intensitas | Denotatif (D) Konotatif (K) | Komponen makna bersama |
Tubuh | Kelamin | Aktivitas |
Hidep | 1x | D | + | + | + |
Putra | 1x | D | + | + | + |
Anaking | 1x | D | + | + | + |
2.1.2 Konteks Penuturan Puisi Sawer Panganten
2.1.2.1 Penembang
Puisi sawer panganten ditembangkan oleh seorang penembang (perempuan) atau disebut juga dengan juru sawer. Jumlah penembang dalam suatu acara saweran cukup satu penembang saja. Dalam acara tersebut penembang puisi sawer panganten ditemani juru rias pengantin dan orang tua dari kedua mempelai yang biasanya hanya diwakili olah para ibunya saja. Pada saat itu, juru rias terkadang ikut nyawer dengan menembangkan puisi sawer panganten.
Pada saat acara, penembang membawa catatan yang hanya digunakan sebgai persiapan saja kalau-kalau beliau lupa. Hal tersebut terjadi, karena penembang sudah hafal teks tembang puisi sawer panganten, disebabkan telah sering ditembangkan.
Peran penembang puisi sawer panganten adalah sebagai pencipta juga pemilik, artinya selain memiliki teks turunan, juga sebagai pencipta teks yang baru. Tetapi, dalam menciptakan teks yang baru, biasanya hal itu dilakukan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Fungsi dan tugas penembang dalam acara saweran adalah berperan sebagai orang tua pengantin. Kesan yang ditimbulkan ketika penembang menembangkan puisi sawer panganten pada saat acara saweran, seakan menjadi orang tua yang sedang memberikan nasehat kepada anaknya yang hendak menjalani kehidupan baru. Setelah selesai, selesai pula tugas dan fungsi penembang. Tugas tersebut ditentukan dari selesainya suatu teks ditembangkan.
2.1.2.2 Khalayak
Khalayak yang hadir dalam acara sawer pengantin atau saweran, cukup beragam, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Rata-rata mereka yang hadir yaitu berasal dari daerah setempat yang merupakan tetangga dekat dari penyelenggara hajatan.
Pada acara tersebut, khalayak berdiri di depan penembang yang pada awal penembangan mereka diam tidak bersuara. Namun, ketika tembang (puisi sawer panganten) sudah dimulai mereka terdengar ribut kembali apalagi setelah tembang berlangsung beberapa menit, maka mereka sudah mulai kesal yang ditandai dengan adanya ungkapan wuur...wuur...wuur.... Kata tersebut, ditujukan sebagi salah satu cara yang dipakai supaya penembang segera menyawerkan uang yang dari awal telah dipegang oleh penyelenggara hajatan. Kata itu juga implisit mengandung makna supaya penembang segera mengakhiri tembangannya.
Anak-anak yang hadir dalam acara tersebut bercampur antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan untuk para orang tua biasanya didominasi oleh para ibu. Dalam acara itu mereka seakan menjadi satu , tidak ada anak-anak atau pun oarng tua mereka bersaing untuk mendapatkan saweran.
Ketika saweran dilemparkan maka mereka saling berebut. Sedangkan untuk pemahaman terhadap isi uraian dari tembang puisi sawer panganten yang disajikan, sama sekali tidak terlihat apabila mereka memperhatikan uraiannya. Motifasi mereka berada di tempat tersebut yaitu untuk mendapatkan sawerannya yang berupa uang maupun permen. Seiring dengan perkembangan zaman yang sudah maju, kini saweran ada yang berupa sebuah undian yang dapat ditukar dengan barang-barang elekrtonik atau barang-barang lainnya yang dapat digunakan.
Jadi, pada acara saweran tersebut khalayak yang hadir hanya untuk sebagai bahan hiburan saja yang nyaris langka itu. Dan kalau diamati secara cermat rasanya tidak ada seorang pun yang memperhatikan pada isi uraian dari tembang puisi sawer panganten tersebut.
2.1.2.3 Interaksi antara Penembang dengan Khalayaknya
Interaksi yang terjadi antara penembang dengan khalayak dalam penembangan tembang puisi sawer panganten salah satunya dapat diketahui seperti yang sudah dijelaskan dalam subbab khalayak, yaitu adanya salah satu ungkapan yang diutarakan oleh khalayak yaitu kata wuur...wuur...wuur.... Kata ini dapat disebut sebagai salah satu interaksi karena dari kata tersebut, penembang mengetahui apabila khalayak sudah mulai jenuh atau bosan dan menginginkan supaya penembang mengakhiri puisi sawer panganten yang ditembangkannya. Namun, interaksi ini bukan merupakan suatu interaksi yang akan memacu penambang lebih semangat dalam menembang. Karena bagi penembang yang mudah terpengaruhi, hal ini akan mengurangi semangat menembangnya. Hal itu juga dapat membuat penembang asal-asalan dalam menembangkan puisi sawer panganten. Namun, bagi seorang penembang yang tidak mudah terpengaruhi dengan keadaan disekitarnya, kejadian ini akan dijadikan sebuah tantangan. Tantangan yang harus dilayani denagn mencari cara bagaimana supaya khalayak dapat kembali memperhatikan tembangannya. Salah satu cara yang dilakukan penembang yaitu dengan perpindah lagu atau pupuh. Selain itu melakukan guyonan yang melibatkan khalayak.
2.1.2.4 Waktu
Waktu pelaksanaan puisi sawer panganten biasanya dilaksanakan pagi hari kira-kira pada pukul 10.00. Untuk waktu tersebut, sangat bergantung selesainya acara serah terima dan akad nikah. Hal tersebut sesuai dengan kebiasaan, saweran dilaksanakan setelah acara inti dari sebuah pernikahan. Acara ini yang dimaksud, serah terima pengantin laki-laki dan akad nikah.
Lamanya waktu tidak dapat ditentukan dengan pasti. Namun, secara umum sebuah pertunjukan khususnya sawer tidak akan lebih dari satu jam. Hal tersebut sangat ditentukan oleh penembang. Penembang juga dipengaruhi oleh khalayak yang hadir pada waktu tersebut. Demikian karena ketika penembang sudah melihat reaksi khalayak, ketika khalayak sudah ribut dan tidak lagi memperhatikan penembang, maka pada saat itu sangat diperlukan kreatifitas penembang. Kreatifitas tersebut dapat berbentuk guyonan yang melibatkan khalayak dengan penembang. Jadi, kreatifitas tersebut dapat terlihat dari adanya interaksi antara penembang dengan khalayak.
2.1.2.5 Tempat
Tempat menembangkan puisi sawer panganten dilakukan di depan/ halaman rumah. Pada acara tersebut, penembang berada tepat di pintu (lawang panto) atau selain itu di Golodog (tangga yang menghubungkan antara teras rumah dengan dalam rumah).
Pada saat itu, penembang berdiri menghadap kepada pasangan pengantin dan khalayak. Pengantin membelakangi khalayak atau khalayak berada di belakang pengantin. Jadi, antara penembang, pengantin dan khalayak berhadap-hadapan. Pada saat itu, pengantin berada di antara khalayak, tapi berada paling depan dan membelakangi khalayak.
2.1.2.6 Jarak
Jarak antara penembang, pengantin dan khalayak tidak jauh kira-kira 2-3 meter. Dari jarak tersebut, terjadi kesan seakan penembang, pengantin dan khalayak sangat akrab, apalagi antara pengantin dengan khalayak, seakan menjadi satu bagian.
2.1.3 Proses Penciptaan Puisi Sawer Panganten
Cara penyampaian puisi sawer panganten dilakukan secara langsung. Dengan cara, seorang penembang melagukan atau menembangkan dan para pendengar atau khalayak menyimak/mendengarkan.
Secara keseluruhan, tembang yang puisi sawer panganten diciptakan oleh pencipta berisi tentang ajaran Islam. Ajaran yang disampaikan bertemakan, tauhid, akhlak, menguraikan tentang suatu hadist/wahyu. Dalam proses penciptaan, untuk menyesuaikan dengan tujuan awal puisi sawer panganten, seorang pencipta setidaknya mengetahui atau menguasai ilmu agama Islam.
Penciptaan dilakukan dalam dua kemungkinan, yaitu:
1. Terjadi secara spontan,
2. Dilakukan dengan cara ditulis terlebih dahulu
Kemungkinan yang pertama, pada situasi spontan, secara mendadak seorang penembang tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu diminta tampil. Teks yang dipakai ada dua kemungkinan, teks yang telah ada dalam ingatan penembang (teks turunan pada umumnya) hasil ciptaan dari leluhur ahli dan teks baru yang terjadi secara spontan.
Namun apabila memakai teks turunan tersebut harus disesuiakan dengan tema acara yang diselenggarakan. Apabila tidak sesuai dengan acara penciptaan teks baru akan terjadi, terjadi secara spontan ketika penembang sedang menembangkan puisi sawer panganten. Tembang mengalur dengan sendirinya. Hal tersebut terjadi karena penembang sudah menguasai formula dari aturan tembang puisi sawer panganten. Hal tersebut sama halnya dengan tembang lainnya, yaitu penguasaan aturan tersebut bukan hasil dari proses penghafalan. Hal itu terjadi dari pengulangan yang terus-menerus.
Kemungkinan yang kedua, yaitu penciptaan dengan terlebih dahulu ditulis. Hal tersebut terjadi dalam situasi penembang diundang dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Pemberitahuan tersebut terjadi seminggu atau tiga hari sebelum acara dilaksanakan. Penciptaan pada situasi tersebut dilakukan untuk menyesuaikan teks dengan acara yang akan dilaksanakan.
Dalam puisi sawer panganten, seorang pencipta pasti beliau juga merupakan penembang. Tetapi, seorang penembang belum tentu dia menciptakan puisi sawer panganten. Karena mungkin saja seorang hanya mampu menembangkan tanpa bisa menciptakan.
2.1.4 Fungsi Puisi Sawer Panganten
Penuturan puisi lisan mempunyai fungsi sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakatnya, diantaranya:
1. Sebagai sistem proyeksi
2. Sebagai pengesahan budaya
3. Sebagai alat pendidikan
4. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma masyarakat dan pengendalian masyarakat ( Badrun, 2003: 44-45).
Menurut Danandjaja bahawa fungsi dari sajak rakyat adalah:
1. Sebagai alat kendali sosial
2. Untuk hiburan
3. Untuk memulai suatu permainan
4. Untuk menganggu orang lain
2.1.4.1 Fungsi Pendidikan
Seperti yang dijelaskan Kusmiati Hadis, sawer merupakan sebuah nasehat atau petuah dari orang tua kepada anaknya yang menikah pada anaknya yang menikah (Hadis, 1986:15). Tujuan menasehati dalam puisi sawer panganten dapat dikatakan sebagai fungsi pendidikan.
Dalam teks puisi sawer panganten yang dijadikan objek penelitian ini, fungsi pendidikannya berkaitan dengan masalah keagamaan. Untuk dapat mengetahui kebenarannya dapat diketahui dari bagian isi yang diuraikan penembang dalam puisi sawer panganten.
Secara keseluruhan bagian isi yang diuraikan penembang dalam puisi sawer panganten, merupakan ajaran yang bersumber dari Al-Quran dan hadist. Sebuah hadist yang membicarakan pernikahan yang merupakan salah satu cara untuk menyempurnakan agama. Alasan pernikahan disebut sebagai cara menyempurnakan agama, karena dengan menikah, seseorang berarti menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya.
Dalam teks puisi sawer panganten, secara jelas disebutkan bahwa tembang tersebut ditujukan bagi kedua pengantin. Akan tetapi, secra implisit, tujuan pencipta menciptakan teks tersebut yaitu untuk semua orang yang mendengarkan. Yang hadir dalam acara tersebut tentu saja beragam, para ibu-ibu (istri), bapak-bapak (suami), dan remaja putri. Jadi, secara tidak langsungnya tembang tersebut ditujukan untuk masyarakat luas.
2.1.4.2 Fungsi Hiburan
Fungsi hiburan dalam teks puisi sawer panganten, secara khususnya dapat diketahui salah satunya dari nada-nada dan irama yang tercipta dari tembang tersebut. Dengan mendengar alunan tembang tersebut, pendengar sudah merasa terhibur. Tetapi fungsi hiburan yang diperolah dari teks puisi sawer panganten ini pun tidak berbeda dengan fungsi pendidikan. Fungsi tersebut berlaku hanya untuk mereka yang benar-benar menyimak tembang puisi sawer panganten dan menikmati nada-nadanya.
Namun, secara umum, sawerannya tersebut, selain prosesi adat juga merupakan suatu hiburan. Hal tersebut disebabkan sudah semakin langkanya masyarakat menyelenggarakan saweran.
Fungsi ini juga dapat diketahui seperti yang telah disinggung, yaitu bahwa khalayak yang datang ke acara tersebut untuk bermain-main. Atau tujuan lain untuk melihat pengantin yang tampil beda dari biasanya. Juga kebiasaan para ibu/remaja putri, acara tersebut dijadikan momen untuk mengobrol/bergosip tentang pengantin.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hasil dari analisis dalam penelitian ini, diperoleh kesimpulan mengenai masalah yang telah dirumuskan. Sebagai berikut:
1. Puisi sawer panganten adalah salah satu bagian atau rangkaian dalam prosesi pernikahan adat Sunda. Puisi ini digunakan dalam upacara saweran untuk pengantin. Puisi sawer panganten dilakukan oleh seseorang yang ahli dalam menembangkannya atau disebut juga juru sawer.
2. Struktur dari puisi sawer panganten, puisi sawer panganten mempunyai 19 larik. Secara umum dalam puisi sawer panganten, bagian pembuka tentang permohonan ijin. Secara implisit juga mengajarkan tentang ajaran tauhid yaitu ke-Esaan Allah.
Bagian isi berisi tentang salah satu ajaran Islam mengenai perintah untuk melaksanakan ibadah nikah yang ditujukan bagi kedua pengantin, merupakan ajaran yang bersumber dari Al-Quran dan hadist. Sebuah hadist yang membicarakan pernikahan yang merupakan salah satu cara untuk menyempurnakan agama.
Bagian penutup berisi penguatan sugesti dari larik-larik sebelumnya dan simpulan dari isi yang disajikan. Bagian ini merupakan suatu permohonan/doa penutup yang ditujukan untuk kedua pengantin agar selalu ada dalam lindungan Allah.
Irama yang digunakan dalam pembacaan teks/penembangan puisi sawer panganten bersifat arbitrer (mana suka). Artinya, penutur puisi sawer panganten dapat membacakan teks tersebut dengan irama masing-masing (tidak ditentukan).
Tema dianalisis dengan menggunakan sebuah kajian isotopi. Secara umum, puisi sawer panganten bersifat menasehati/mendoakan.
3. Proses penciptaan untuk teks puisi sawer panganten, secara keseluruhan, tembang yang puisi sawer panganten diciptakan oleh pencipta berisi tentang ajaran Islam. Ajaran yang disampaikan bertemakan, tauhid, akhlak, menguraikan tentang suatu hadist/wahyu. Dalam proses penciptaan, untuk menyesuaikan dengan tujuan awal puisi sawer panganten, seorang pencipta setidaknya mengetahui atau menguasai ilmu agama Islam.
4. Konteks penuturan puisi sawer panganten, puisi sawer panganten ditembangkan oleh seorang penembang (perempuan) atau disebut juga dengan juru sawer. Fungsi dan tugas penembang dalam acara saweran adalah berperan sebagai orang tua pengantin. Kesan yang ditimbulkan ketika penembang menembangkan puisi sawer panganten pada saat acara saweran, seakan menjadi orang tua yang sedang memberikan nasehat kepada anaknya yang hendak menjalani kehidupan baru.
Khalayak yang hadir dalam acara sawer pengantin atau saweran, cukup beragam, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Rata-rata mereka yang hadir yaitu berasal dari daerah setempat yang merupakan tetangga dekat dari penyelenggara hajatan.
Waktu pelaksanaan puisi sawer panganten biasanya dilaksanakan pagi hari kira-kira pada pukul 10.00. Untuk waktu tersebut, sangat bergantung selesainya acara serah terima dan akad nikah. Hal tersebut sesuai dengan kebiasaan, saweran dilaksanakan setelah acara inti dari sebuah pernikahan. Acara ini yang dimaksud, serah terima pengantin laki-laki dan akad nikah.
Jarak antara penembang, pengantin dan khalayak tidak jauh kira-kira 2-3 meter.
5. Fungsi puisi sawer panganten yaitu sebagai media pendidikan dan hiburan . Fungsi tersebut sesuai dengan tujuan dari acara sawer itu sendiri sebagai sebuah nasehat dari orang tua untuk anaknya yang baru menikah.
Fungsi hiburan dalam teks puisi sawer panganten, secara khususnya dapat diketahui salah satunya dari nada-nada dan irama yang tercipta dari tembang tersebut. Dengan mendengar alunan tembang tersebut, pendengar sudah merasa terhibur.
3.1 Saran
Begitu banyak khazanah budaya yang ada di Indonesia ini, khususnya di Jawa Barat yaitu khazanah sastra Sunda yang sedikit demi sedikit mengalami persaingan yang diakibatkan masuknya budaya asing yang masuk ke negara kita. Untuk itu selakyaknyalah sebagai warga negara yang mencintai kebudayaan dan kesenian tanah airnya, baik yang berupa tradisi lisan/bukan tulisan dan tradisi tulis, khususnya tradisi lisan yang ada di Jawa Barat. Diadakannya penelitian-penelitian lain terhadap suatu kesenian tradisional sebagai upaya untuk mewariskan karya-karya para leluhur kepada para generasi baru sehingga dapat melestarikan dan mengembangkan khazanah kehidupan sastra Sunda di tengah-tengah persaingan budaya-budaya lain. Sebab sastra klasik adalah merupakan akar budaya bangsa, cermin jati diri bangsa dan sekaligus merupakan aset bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahan. Bandung: Dipenogoro
Badrun, Ahmad. 2003. Patu Mbojo. Struktur, Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan, dan Fungsi. Jakarta: UI
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rieka Cipta
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Graffiti
Hadist, Yeti Kusniati dkk. 1986. Puisi Sawer Bahasa Sunda. Jakarta: P 3 B Depdikbud.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan. Jawa Timur: HISKI.
LAMPIRAN
1. Identitas Penutur
Nama : Ibu Ningsih Suryati
Umur : 48 tahun
Alamat : Jl. K. Natawijaya, Gg. Rahayu No.74
RT 11/RW 07, Kelurahan Cibadak, Kecamatan
Astanaanyar, Bandung 40241
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas (SMA)
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Waktu Perekaman : Minggu, 23 Nopember 2008. Pukul: 10.00 WIB
2. Transkripsi Teks
Bismillah ngawitan ngidung
Nyebat asma Maha Suci
Maha Welas, Maha Asih
Cunduk waktu nurhayu
Niti wanci nu mastarub
Hidep nalikeun duriat
Ngaitkeun asih birahi
Tumut parentah Pangeran
Gusti nu Maha Kawasa
Nu munajat siang wengi
Sangkan kang putra waluya
Siang pinareng wengi
Prung anaking geura manggung
Didoakeun beurang peuting
Geus tandang cumarita
Nenede nu Maha Suci
Ginanjar kawilujengan
Amin ya robbal allamin
Mugi Gusti nangtayungan
3. Terjemahan
Bismillah melantukan nyanyian
Menyebut nama Maha Suci
Maha Pengasih, Maha Penyayang
Tiba saatnya kebahagiaan
Meniti waktu yang pasti
Kalian mengikat cinta kasih
Menyatukan kasih sayang
Mengikuti perintah Allah
Allah yang Maha Kuasa
Tempat meminta siang malam
Agar sang putra mendapat kemuliaan
Siang dan malam
Segeralah anakku laksanakan
Didoakan siang dan malam
Sudah tiba saatnya
Memohonlah kepada yang Maha Suci
Agar mendapat keselamatan
Amin ya robbal alamin
Semoga Allah melindungi
4. Biodata Penulis
Nama : Adam Rizal Mutaqin
Tempat dan Tgl. Lahir : Bandung, 24 April 1988
Agama : Islam
Alamat : Jl. Pagarsih, Gg. Warga Asih No. 124/90
RT 10/RW 07, Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astanaanyar, Bandung 40241
Telepon : 085722029936
Email : platonic_system@yahoo.com